DEKADENSI MORAL REMAJA DAN PERAN TOKOH
MASYARAKAT DALAM MENGUATKAN PERILAKU KEAGAMAAN
DI PERUMAHAN GRUJUGAN
ABDUL HASAN RAPAI
Dosen Tetap STIT
Al-Ishlan Bondowoso
rifayhr@gmail.com
ABSTRAK
Perilaku
adalah tanggapan atau reaksi individu terhadap rangsangan atau lingkungan.
Sedangkan keagamaan berasal dari kata dasar agama yang berarti sistem, prinsip
kepercayaan kepada Tuhan dengan ajaran kebaktian dan kewajiban yang bertalian
dengan kepercayaan itu. Dengan demikian perilaku keagamaan berarti segala tindakan
itu perbuatan atau ucapan yang dilakukan seseorang sedangkan perbuatan atau
tindakan serta ucapan akan berkaitan dengan agama, semuanya dilakukan karena
adanya kepercayaan kapada Tuhan dengan ajaran, kebaktian dan
kewajiban-kewajiban yang bertalian dengan kepercayaan.
Penulis mencoba
menjabarkan secara deskriptif bertujuan (1) Ingin
Mengetahui penyebab terjadinya kenakalan remaja di Perumahan Grujugan. (2) Ingin
Mengetahui Kendala Tokoh Masyarakat dalam Mengatasi Kenakalan Remaja di Perumahan Grujugan.
(3) Ingin Mengetahui Upaya Tokoh Masyarakat dalam Menguatkan Perilaku Keagamaan
Pada Remaja di Perumahan
Grujugan.
Kata Kunci :
Peran Tokoh Masyarakat, Menguatkan Perilaku Keagamaan
1.
PENDAHULUAN
Pada era globalisasi sekarang ini di
mana perkembangan informasi tersebar luas yang dapat diakses dengan sangat
mudah, hal ini menyebabkan berbagai nilai-nilai atau sesuatu dari luar yang
berdampak negatif tidak lagi dapat di saring sehingga dengan mudah mempengaruhi
pemikiran dan karakter generasi (generasi masa kini) sehingga menimbulkan
kekhawatiran terhadap proses pencarian jati diri yang terkait merosotnya
keyakinan terhadap nilai- nilai keagamaan, nasionalisme, nilai sosial budaya
bangsa dan perkembangan moralitas individu. Hal ini menimbulkan kecemasan
sehingga memerlukan suatu pendekatan yang lebih serius dalam memperkokoh jati
diri generasi muda melalui pendidikan karakter dan budaya bangsa.
Di negara-negara maju, pembangunan karakter
menjadi satu elemen penting dalam proses pendidikan guna menerapkan kembali
nilai-nilai yang baik dan menyaring segala bentuk unsur negatif yang dapat
mempengaruhi tingkahlaku di kalangan anak-anak dan tidak terkecuali di kalangan
remaja (Ilham Hudi, 2017: 30-40 ).
Salah satunya adalah bentuk dekadensi moral
remaja (kemerosotan moral) yang terjadi di Perumahan Grujugan.
Di era Globalisasi saat ini banyak
budaya dari luar baik itu yang positif atau negative masuk ke Negara Indonesia.
Budaya ini secara otomatis mempengaruhi moral dan perilaku remaja dan bisa
mengarah yang dapat menimbulkan dekadensi moral, sehingga fenomena dekadensi
moral sudah menjadi hal yang tidak asing lagi yang hadir di tengah masyarakat
dunia sejak zaman dahulu hingga sekarang. Kalangan yang sangat rentan mengalami
dekadensi moral adalah remaja.
Banyak faktor yang menjadi penyebabnya, salah
satu faktor yang mempunyai pengaruh paling besar adalah factor budaya berupa
teknologi dan media yang tak asing lagi dikalangan pelajar Indonesia. Media
tersebut banyak memperkenalkan tradisi
barat hingga pada akhirnya menumbuhkan jiwa-jiwa westernisasi. Tradisi ini dipaparkan melalui
banyak media, seperti telivisi, internet dan lain sebagainya. Media tersebut
memberikan dampak yang luar biasa di kalangan remaja saat ini, baik dampak
positif ataupun dampak negatif. Budaya-budaya lokal saat ini sudah mulai luntur
dan bahkan malah remaja saat ini
tidak tahu budaya asli kita sendiri. Salah satu contoh yang sangat ironis
yang melanda di kalangan remaja sekarang adalah banyaknya remaja yang
megikuti budaya luar seperti budaya orang Amerika dan lain sebagainya. Hal yang di khawatirkan sekarang adalah mulai berkurangnya rasa nasionalisme remaja di karenakan masuknya budaya luar yang lebih menarik. Hal ini mungkin dinilai sebagai hal kecil dan sepele,
namun dekadensi moral terjadi di
mulai dari hal yang sepele seperti mengikuti budaya asing dalam mode berpakaian, berbicara, dan tradisi
yang tidak sesuai dengan kepribadian remaja bahkan dapat mengurangi keimanan
dan akhirnya meninggalkan nilai-nilai keagamaan hanya karena ingin mengikuti trend yang di adopsi dari budaya asing.
Kepedulian masyarakat merupakan dorongan yang
datang dari luar, sehingga apabila masyarakat acuh maka dengan mudahnya dia
akan berani melanggar peraturan-peraturan dan hukum-hukum sosial itu. Berbeda
ketika setiap orang teguh keyakinan terhadap Allah SWT dan menjalankan agama
dengan sungguh-sungguh, tidak perlu lagi pengawasan yang ketat, karena setiap
orang sudah mampu mengawasi dirinya sendiri, tidak melanggar hukum dan ketentuan-ketentuan agama Islam.
Kurang efektifnya pembinaan moral yang
dilakukan dalam rumah tangga, sekolah, maupun masyarakat, dan
ketentuan-ketentuan agama yang ketat, Pembinaan moral anak selama ini banyak
dilakukan dengan cara mendidik anak untuk berperilaku yang baik dan tidak melakukan
hal buruk, sehingga anak akan dibesarkan tanpa mengenal moral itu, bukan dengan
dibiasakan menanamkan sikap yang dianggap baik untuk menumbuhkan moral anak.
Merosotnya nilai-nilai moral dan karakter remaja ini dapat dilihat dari
beberapa bentuk kejadian dan perilaku tindakan dalam berbagai jenis, bentuk,
dan polanya yang sering dijumpai dalam kehidupan dan media massa.
Bentuk-bentuk kenakalan remaja yang ada di Perumahan Grujugan yaitu dapat berbentuk seperti merokok sebelum waktunya, berkeliaran pada
jam sekolah, kebut-kebutan di jalan, tawuran antar pelajar, dan perilaku
lainnya yang melanggar nilai etika dan norma susila di kalangan remaja/pelajar.
Menurut (Dewi, 2009:61) Masa remaja diwarnai oleh pertumbuhan,
perubahan, munculnya berbagai kesempatan, dan seringkali menghadapi
resiko-resiko kesehatan. Pada masa ini terjadi perubahan fisik yang ditandai
dengan munculnya tanda-tanda seks primer dan sekunder serta perubahan kejiwaan
meliputi perubahan emosi menjadi sensitive dan perilaku ingin mencoba hal- hal
baru.
Meskipun remaja sudah matang secara
organ seksual, tetapi emosi dan kepribadiannya masih labil karena masih mencari
jati dirinya sehingga rentan terhadap berbagai godaan dan lingkungan
pergaulannya. Oleh karena itu, remaja sangat mudah terpengaruh dengan
lingkungannya termasuk pengaruh- pengaruh negatif seperti melakukan
tindakan-tindakan yang menyimpang dan bisa merugikan dirinya dan orang lain.
Pentingnya memperbaiki moral atau akhlak remaja
adalah untuk menyadarkan para generasi muda sebagai generasi penerus bangsa
agar tahu peran dan tanggung jawabnya, agar tidak bersifat egois, dapat
bertindak dengan bijak, dan menjadi ujung tombak kesuksesan bangsa dan negara. Dilihat dari aspek
regenerasi, maka persoalan pembinaan moral remaja menjadi lebih penting.
Sebagai generasi penerus cita-cita perjuangan bangsa, remaja lebih diarahkan
dan dipersiapkan sedemikian rupa sehingga benar- benar merupakan jaminan
kelangsungan hidup berbangsa dan bernegara serta mempunyai nilai-nilai agama
yang luhur.
Berdasarkan pengamatan awal ( Graand tour) yang di lakukan oleh
peneliti di Kelurahan
Dusun Kebun terlihat
bahwa pertama, sejak dahulu kemerosotan moral umum
terjadi di Perumahan Grujugan, dan tidak heran melihat kenakalan remaja di
tempat tersebut yang di perlihatkan dengan jelas bahwa masih banyak terdapat
remaja yang moralnya merosot yang melakukan perbuatan menyimpang. Kedua, moral
remaja banyak yang merosot seperti kurang ajar terhadap orang tua, merokok
sebelum waktunya, kebut-kebutan di jalan, bolos pada saat jam belajar sedang
berlangsung, dan tawuran yang membuat masyarakat resah. Ketiga, lambatnya
tokoh-tokoh masyarakat dalam menanggapi kemerosotan moral remaja di Perumahan
Grujugan sehingga dari tahun ke tahun peristiwa seperti ini sering terjadi yang
mengkhawatirkan akan berdampak buruk bagi para remaja kedepanya dan dapat
menganggu ketertiban masyarkat di Perumahan Grujugan.
Berdasarkan latar belakang, penulis
merumuskan judul “ Dekadensi Moral
Remaja Dan Peran Tokoh Masyarakat Dalam Menguatkan Perilaku Keagamaan Di Perumahan
Grujugan”.
II. KAJIAN KEPUSTAKAAN
A.
Dekadensi Moral
1.
Pengertian Dekadensi Moral
Dekadensi dalam kamus bahasa Indonesia berarti
penurunan, kemunduran, kemerosotan kebudayaan. Istilah moral berasal dari kata
Latin “mos” (moris), yang berarti adat istiadat,
kebiasaan,peraturan/nilai-nilai atau tatacara kehidupan (Syamsyu YusufLN,
2005:132).
Akhlak (moral) adalah sebuah sistem yang lengkap
yang terdiri dari karakter-karakter akal atau tingkah laku yang membuat
seseorang menjadi istimewa. Karateristik-karakteristik ini membuat kerangka
psikologi seseorang dan membuatnya berprilaku sesuai dengan dirinya dan nilai
yang cocok dengan dirinya dalam kondisi yang berbeda-beda.
Dalam kamus La Lande, moral memiliki empat makna,
yaitu :
Moral adalah sekumpulan kaidah bagi perilaku yang
diterima dalam satu zaman atau sekelompok orang. Dengan makna ini moral bisa
bersifat keras, buruk, atau rendah.
Moral adalah sekumpulan kaidah bagi perilaku yang
dianggap baik berdasarkan kelayakan bukannya berdasarkan syarat.
Moral adalah teori akal tentang kebaikan dan
keburukan, ini menurut filsafat.
Tujuan-tujuan kehidupan yang mempunyai warna
humanisme yang kental yang tercipta dengan adanyahubungan-hubungan sosial (Ali
Abdul Halim Mahmud 2004 : 26-27).
Moral merupakan kaidah norma dan pranata yang
mengatur perilaku individu dalam hubungannya dengan kelompok sosial dan
masyarakat. Moral merupakan standar baik-buruk yang ditentukan bagi individu
oleh nilai-nilai sosial budaya dimana individu sebagai anggota sosial.
(Mohammad Ali, Mohammad Asrori, 2012 : 136)
Secara umum, moralitas dapat dikatakan sebagai
kapasitas untuk membedakan yang benar dan yang salah, bertindak atas perbuatan
tersebut,
dan mendapatkan penghargaan diri ketika melakukan
yang benar dan merasa bersalah atau malu ketika melanggar standar tersebut.
(Aliah B. Purwakania Hasan, 2006 : 261 )
Pendapat lain juga dikemukakan oleh Sastrapedja
yang dikutip oleh Sutarjo Adisusilo mengatakan bahwa moralitas adalah segala
hal yang terkait dengan moral, terkait dengan perilaku manusia dan norma-norma
yang dipegang oleh masyarakat yang mendasarinya. Oleh sebab itu, moralitas
merupakan sistem nilai bagaimana seseorang seharusnya hidup secara baik sebagai
manusia. (Sutarjo Adisusilo, 2014 : 54).
Perkembangan teknologi saat ini, yang ditandai
hadirnya zaman modern, termasuk di Indonesia diikuti oleh gejala dekadensi
moral yang benar-benar berada pada taraf yang memprihatinkan. Akhlak mulia
seperti kejujuran, kebenaran, keadilan, tolong menolong, tepo seliro
(toleransi), dan saling mengasihi sudah mulai terkikis oleh penyelewengan,
penipuan, permusuhan, penindasan, saling menjatuhkan, menjilat, mengambil hak
orang lain secara paksa dan sesuka hati, dan perbuatan-perbuatan tercela yang
lain. Kemerosotan moral atau yang sering kita dengar dengan istilah ‘dekadensi
moral’ sekarang ini tidak hanya melanda kalangan dewasa, melainkan juga telah
menimpa kalangan pelajar yang menjadi generasi penerus bangsa. Orang tua, guru,
dan beberapa pihak yang berkecimpung dalam bidang pendidikan, agama dan sosial
banyak mengeluhkan terhadap perilaku sebagian pelajar yang berperilaku di luar
batas kesopanan dan kesusilaan, semisal: perkelahian antar pelajar, banyak
berkeliarannya pada jam sekolah, kebut-kebutan di jalan raya, dan perilaku
lainnya yang melanggar nilai etika dan norma susila di kalangan remaja/
pelajar.
Dengan begitu, bukanlah tanpa bukti untuk
mengatakan bahwa kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi juga memiliki
konsekuensi logis terciptanya kondisi yang mencerminkan kemerosotan akhlak
(dekadensi moral) (Haidar Putra Daulay, 2012:141).
Sedangkan menurut Syed Sajjad Husain dan Syed Ali
Ashraf (2000:23) berpendapat bahwa saat ini masyarakat tengah mengalami krisis
moral dan
kejiwaan sebagai akibat dari gelombang krisis
materialisme. Tradisi hidup materialistik tidak menjadikan moralitas sebagai
anutan, akan tetapi kekayaan yang dijadikan ukuran kemuliaan dan kehormatan.
Dekadensi moral yang ditunjukkan oleh sebagian
generasi muda harapan masa depan tersebut, meskipun tidak besar prosentasenya,
namun menjadi sesuatu yang disayangkan dan bahkan mencoreng kredibilitas dan
kewibawaan dunia pendidikan. Para pelajar yang seharusnya menunjukkan sikap dan
perbuatan yang bermuatan akhlak mulia justru menunjukkan tingkah laku yang
sebaliknya. Tidaklah berlebihan ketika dalam kasus ini kita sebagai pihak yang
ikut serta dalam dunia pendidikan merasa gelisah dan ikut bertanggung jawab di
dalamnya. Pendidikan memang mempunyai dua fungsi utama, yaitu sebagai transfer
nilai (transformation of value) dan transfer pengetahuan (transformation of
knowledge). Sebagai fungsi transfer nilai, dunia pendidikan diharapkan mampu
mentransfer nilai-nilai, norma- norma, dan budi pekerti luhur (akhlakul
karimah). Sebagai fungsi transfer pengetahuan, dunia pendidikan diharapkan
mampu mentransfer ilmu pengetahuan dan teknologi pada anak didik (Nurul Zuriah,
2008:175). Persoalan yang muncul kemudian adalah seiring perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi yang diagung-agungkan justru tidak disertai dengan
perkembangan nilai atau moralitas yang baik, malah justru sebaliknya.
2.
Faktor-faktor terjadinya Dekadensi Moral
Sebelum kita menawarkan solusi terbaik dari
kejadian kemerosotan moral di kalangan generasi tunas bangsa, alangkah lebih
baiknya kita mencari sebab atau mengidentifikasi faktor-faktor penyebab
timbulnya dekadensi moral.
Banyak faktor yang bisa menyebabkan timbulnya
perilaku menyimpang di kalangan remaja. Diantaranya adalah sebagaimana
dijelaskan berikut ini. Pertama, longgarnya pegangan terhadap agama. Sudah
menjadi tragedi di dunia maju, dimana segala sesuatu hampir dapat dicapai
dengan ilmu pengetahuan, sehingga keyakinan
beragama mulai terdesak, kepercayaan
terhadap Tuhan tinggal simbol, larangan-larangan
dan perintah-perintah Tuhan tidak diindahkan lagi. Dengan longgarnya pegangan
seseorang pada ajaran agama, maka hilanglah kekuatan pengontrol yang ada di
dalam dirinya. Dengan demikian, satu-satunya alat pengawas dan pengatur moral
yang dimilikinya adalah masyarakat dengan hukum dan peraturannya.
Di sinilah yang menurut Abdul Munir Mulkhan
(2008:29) sebagai “conditioning” terjadinya evolusi budaya masyarakat. Akan
tetapi, jika setiap orang dengan teguh memegang keyakinannya kepada Tuhan serta
menjalankan agama dengan sungguh-sungguh, tidak perlu lagi adanya pengawasan
yang ketat, karena setiap orang sudah dapat menjaga dirinya sendiri dan mampu
menyeleksi pengaruh dari lingkungan (“Structured Person” - meminjam istilah
yang dipakai A. Munir Mulkhan). Sebaliknya, dengan semakin jauhnya masyarakat
dan agama (sekuler), semakin susah memelihara moral orang dalam masyarakat itu,
dan semakin kacaulah suasana karena semakin banyak pelanggaran-pelanggaran
hukum dan nilai moral. Kedua, kurang efektifnya pembinaan moral yang dilakukan
oleh rumah tangga, sekolah, maupun masyarakat.
Pembinaan moral yang dilakukan oleh ketiga
institusi ini tidak berjalan menurut semestinya (normatif) atau yang sebisanya
(objektif). Pembinaan moral di rumah tangga misalnya harus dilakukan dan sejak
anak masih kecil, sesuai dengan kemampuan dan umurnya. Tanpa dibiasakan
menanamkan sikap yang dianggap baik untuk menumbuhkan moral, anak- anak akan
dibesarkan tanpa mengenal moral itu. Pembinaan moral yang dilakukan di rumah
tangga bukan dengan menyuruh menghafal rumusan tentang baik dan buruk,
melainkan harus dibiasakan.
Selain rumah tangga dan sekolah, masyarakat juga
memiliki peran dalam pembinaan moral. Masyarakat dapat sebagai kontrol secara
eksternal dan bersifat penting dalam pembinaan moral. Hadirnya masyarakat yang
rusak moralnya akan sangat berpengaruh pada perkembangan moral anak. Karena
kerusakan masyarakat itu sangat besar pengaruhnya dalam pembinaan anak, maka
harus segera diatasi. Terjadinya kerusakan moral di kalangan pelajar dan
generasi muda sebagaimana dijelaskan di atas, bisa dikarenakan tidak efektifnya
peran keluarga, sekolah, dan masyarakat dalam pembinaan moral. Dengan begitu
ketiga instansi pendidikan ini harus berjalan seiringan dalam pendidikan atau
pembinaan moral.
3.
Pendidikan Moral
Pendidikan sejati merupakan proses pembentukan
moral masyarakat beradab, masyarakat yang tampil dengan wajah kemanusiaan dan
pemanusiaan yang normal. Kata lainnya, pendidikan adalah ‘moralisasi
masyarakat’ terutama peserta didik (Sudarwan Danim, 2006:63-64).
Pendidikan yang dimaksudkan di sini bukan hanya
sekedar sekolah (education not only education as schooling), akan tetapi
pendidikan sebagai jaring-jaring kemasyarakatan (education as community
networks). Hal senada juga disampaikan Mulyasa (2011:5), bahwa pendidikan merupakan
sesuatu yang dapat mengembangkan potensi masyarakat, mampu menumbuhkan kemauan,
serta membangkitkan nafsu generasi bangsa untuk menggali berbagai potensi, dan
mengembangkannya secara optimal bagi kepentingan pembangunan masyarakat secara
utuh dan menyeluruh. Pengertian ‘moral’ memiliki pengertian yang sama dengan
akhlak (khulq), character, dispotsition, budi pekerti, dan etika (Muhaimin et
al., 2007:226). Moralitas, tindakan moral, dan demoralisasi merupakan realitas
hidup dan ada di sekitar kita (Danim Sudarwan, 2006:65).
Menurut Ross Poole sebagaimana dikutip Danim
Sudarwan (2006:65), terkadang konsep moralitas (morality) itu telah
disingkirkan, meski tidak mungkin akan hilang (raib) di dunia ini. Konsep
moralitas itu akan menjadi konsep yang bisa kita akui memiliki tempat di dalam
suatu cara hidup yang koheren, bermakna dan memuaskan bagi kita. Kebermaknaan
itu tercermin dari keamanan, kenyamanan, kebersahabatan, kebertanggung jawaban,
ketenangan, tanpa prasangka, kepastian bertindak, memegang kesepakatan, dan
keceriaan hidup. Dalam Islam moral sering merupakan terjemahan dari kata akhlak
(Abuddin Nata, 2012:209).
Berdasarkan definisi-definisi tersebut terlihat
bahwa akhlak terkait dengan perbuatan yang baik, terpuji, bernilai luhur,
berguna bagi orang lain. Perbuatan-perbuatan tersebut selanjutnya dijadikan
sebagai ukuran atau patokan dalam menentukan tingkah laku orang. Dengan
dijadikannya akhlak tersebut sebagai patokan, maka akhlak menjadi moral.
Berdasarkan tujuan pendidikan nasional yang tercantum dalam GBHN dan tujuan
kelembagaan sekolah serta tujuan pendidikan moral yang diberikan pada tingkat
sekolah dan perguruan tinggi, maka pendidikan moral di Indonesia bisa
dirumuskan untuk sementara sebagai berikut: “Pendidikan moral adalah suatu program
pendidikan (sekolah dan luar sekolah) yang mengorganisasikan dan
menyederhanakan sumber-sumber moral dan disajikan dengan memperhatikan
pertimbangan psikologis untuk tujuan pendidikan” (Nurul Zuriah, 2008:22).
Menurut paham ahli pendidikan moral, sebagaimana
disampaikan Dreeben dalam Nurul Zuriah (2008:22), jika tujuan pendidikan moral
akan mengarahkan seseorang menjadi bermoral, yang penting adalah bagaimana agar
seseorang dapat menyesuaikan diri dengan tujuan hidup bermasyarakat. Oleh
karena itu, dalam tahap awal perlu dilakukan pengondisian moral (moral
conditioning) dan latihan (moral training) untuk pembiasaan. John Dewey
berpendapat, pendidikan moral hampir sama dengan rasional, dimana penalaran
moral dipersiapkan, sebagai prinsip berpikir kritis untuk sampai pada pilihan
dan penilaian moral (moral choice and moral
judgment) yang dianggap sebagai pikiran dan sikap terbaiknya (Nurul
Zuriah, 2008:22).
B.
Remaja
1.
Pengertian Remaja
Tahapan perkembangan remaja menurut Mapiarre
(dalam Moh Ali : 2012:9) berlangsung antara antara umur 12 tahun sampai 22
tahun yaitu umur 12 tahun sampai 21tahun bagi wanita dan 13 tahun sampai 22
bagi pria. Rentang usia remaja ini dibagi menjadi dua bagian yaitu remaja awal
dengan rentan usia antara 12/13 tahun sampai 17/18 tahun dan remaja akhir usia
17/18 sampai 21/22 tahun.1Perkembangan masa remaja merupakan periode transisi
atau peralihan dari kehidupan masa kanak-kanak ke masa dewasa. periode dimana
individu dalam proses pertumbuhannya (terutama pertumbuhan fisik) telah mencapai
kematangan, Mereka tidak mau lagi diperlakukan sebagai anak-anak namun mereka
belum mencapai kematangan yang penuh dan belum memasuki tahapan perkembangan
dewasa. Secara negatif periode ini disebut juga periode “serba tidak” (the “un”
stage), yaitu ubbalanced = tidak/belum seimbang, unstable = tidak/belum stabil
dan unpredictable =tidak dapat di ramalkan. Pada periode ini terjadi
perubahan-perubahan baik dalam segi psikologis, sosial dan intelektual.
2.
Perkembangan fisik dan Kognitif
Masa remaja merupakan masa peralihan antara masa
anak-anak ke masa dewasa. Pada masa perkembangan ini, remaja mencapai
kematangan fisik, mental, sosial dan emosional. Beberapa penelitian mengenai
pertumbuhan fisik pada remaja menunjukkan bahwa pertumbuhan tinggi badan pada masa
remaja lebih cepat bila dibandingkan dengan masa-masa sebelumnya, dan perubahan
proporsi tubuh pada remaja wanita terjadi lebih cepat dari pada remaja
laki-laki, hal ini terlihat dengan jelas bahwa wanita usia 12,13 atau 14 tahun
anak wanita lebih tinggi dari pada laki-laki. Pada masa perkembangan remaja
juga merupakan tahapan pubertas.
Tahapan pubertas (puberty) adalah sebuah periode
dimana kematangan fisik berlangsung cepat, yang melibatkan perubahan hormonal
dan tubuh, yang terutama berlangsung dimasa remaja awal.
Menurut Jean Piaget (dalam Moh Ali : 2012:9)
remaja dalam tahapan perkembangan kognitifnya memasuki tahap oprasional formal.
Tahap oprasional formal ini dialami oleh anak pada usia 11 tahun keatas. Pada
tahapan oprasional formal ini, anak telah mampu mewujudkan suatu keseluruhan
dalam pekerjaannya yang merupakan hasil dari berpikir logis. Aspek perasaan dan
moralnya juga telah berkembang.
Pada tahapan ini menurut piaget (dalam Moh
Ali:2012:9), dalam tahapan ini remaja mulai berinteraksi dengan lingkungan dan
semakin luas dari pada tahapan anak-anak, remaja mulai berinteraksi dengan
teman sebayanya dan bahkan berusaha untuk dapat berinteraksi dengan orang
dewasa. Karena pada tahapan ini anak sudah mulai mampu mengembangkan pikiran
normalnya, mereka juga mampu mencapai logika dan rasio serta dapat menggunakan
abstraksi. Arti simbolik dan kiasan dapat mereka mengerti. Melibatkan mereka
dalam suatu kegiatan akan lebih memberikan akaibat positif pada perkembngan
kognitifnya.
3.
Ciri-ciri Remaja
Seperti halnya pada semua periode yang penting,
sela rentang kehidupan masa remaja mempunyai ciri-ciri tertentu yang
membedakannya dengan periode sebelumnya dan sesudahnya. Masa remaja ini, selalu
merupakan masa-masa sulit bagi remaja maupun orangtuanya.
Menurut Sidik Jatmika, kesulitan itu berangkat
dari fenomena remaja sendiri dengan beberapa perilaku khusus; yakni:
Remaja
mulai menyampaikan kebebasannya dan haknya untuk mengemukakan pendapatnya
sendiri. Tidak terhindarkan, ini dapat menciptakan ketegangan dan perselisihan,
dan bisa menjauhkan remaja dari keluarganya.
Remaja lebih mudah dipengaruhi oleh teman-temannya
dari pada ketika mereka masih kanak-kanak. Ini berarti bahwa pengaruh orangtua
semakin lemah. Anak remaja berperilaku dan mempunyai kesenangan yang berbeda
bahkan bertentangan dengan perilaku dan kesenangan keluarga. Contoh-contoh yang
umum adalah dalam hal mode pakaian, potongan rambut, kesenangan musik yang
kesemuanya harus mutakhir.
Remaja mengalami perubahan fisik yang luar biasa,
baik pertumbuhannya maupun seksualitasnya. Perasaan seksual yang mulai muncul
bisa menakutkan, membingungkan dan menjadi sumber perasaan salah dan frustrasi.
Remaja sering menjadi terlalu percaya diri (over
confidence) dan ini bersama-sama dengan emosinya yang biasanya meningkat,
mengakibatkan sulit menerima nasihat dan pengarahan oangtua.
Selanjutnya, Sidik Jatmika, menjelaskan adanya
kesulitan yang sering dialami kaum remaja yang betapapun menjemukan bagi mereka
dan orangtua, merupakan bagian yang normal dari perkembangan remaja itu
sendiri.
Beberapa kesulitan atau bahaya yang mungkin
dialami kaum remaja antara lain:
Variasi
kondisi kejiwaan. Suatu saat mungkin ia terlihat pendiam, cemberut, dan
mengasingkan diri, tetapi pada saat yang lain terlihat sebaliknya, periang,
berseri-seri dan yakin. Perilaku yang sulit ditebak dan berubah-ubah ini
bukanlah sesuatu yang abnormal. Hal ini hanyalah perlu diprihatinkan dan
menjadi kewaspadaan bersama manakala telah menjerumuskan remaja dalam
kesulitan-kesulitan di sekolah atau kesulitan dengan teman-temannya.
Rasa ingin tahu seksual dan coba-coba. Hal ini
merupakan sesuatu yang normal dan sehat. Rasa ingin tahu seksual dan bangkitnya
rasa birahi adalah normal dan sehat. Ingat, perilaku tertarik pada seks sendiri
juga merupakan ciri yang normal pada perkembangan masa remaja. Rasa ingin tahu
seksual dan birahi jelas menimbulkan bentuk-bentuk perilaku seksual.
Perilaku anti sosial, seperti suka mengganggu,
berbohong, kejam dan menunjukkan perilaku agresif. Sebabnya mungkin
bermacam-macam dan banyak tergantung pada budayanya. Akan tetapi, penyebab yang
mendasar adalah pengaruh buruk teman, dan pendisiplinan yang salah dari
orangtua, terutama bila terlalu keras atau terlalu lunak – dan sering tidak ada
sama sekali.
4.
Tokoh Masyarakat
Di dalam kehidupan masyarakat, tokoh masyarakat
menduduki posisi yang penting, oleh karena itu ia dianggap orang serba tahu dan
mempunyai pengaruh yang besar terhadap masyarakat. Sehingga segala
tindak-tanduknya merupakan pola aturan yang patut diteladani oleh masyarakat.
Tokoh masyarakat merupakan seseorang yang mempunyai pengaruh besar karena
peranannya yang penting dalam struktur sosial masyarakat. Oleh karena itu,
tokoh masyarakat begitu dihormati dilingkungan masyarakat. Menurut Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1987 BAB 1 Ketentuan Umum Pasal 1
menyatakan bahwa Tokoh Masyarakat adalah “seseorang yang karena kedudukan
sosialnya menerima kehormatan dari masyarakat dan/atau pemerintah”.
Tokoh masyarakat merupakan seseorang yang
mempunyai pengaruh besar karena peranannya yang penting dalam struktur sosial
masyarakat. Oleh karena itu, tokoh masyarakat begitu dihormati dilingkungan
masyarakat. Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1987 BAB 1
Ketentuan Umum Pasal 1 menyatakan bahwa Tokoh Masyarakat adalah “seseorang yang
karena kedudukan sosialnya menerima kehormatan dari masyarakat dan/atau
pemerintah”.
Kedudukan yang diperoleh tokoh masyarakat ini,
bisa karena pengetahuannya, kebijaksanaan budi pekertinya, dan kesuksesannya
dalam menjalani kehidupan dimasyarakat. Kebijaksanaan dan pengetahuan yang
dimiliki tokoh masyarakat biasanya menjadi panutan bagi orang-orang yang sesuai
dengan bidangnya masing-masing.
Keberadaan tokoh masyarakat mempunyai peranan yang
sangat penting sebagai pengendali sosial dalam masyarakat. Selain berperan
sebagai penjaga dan penegak nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku di
masyarakat, tokoh masyarakat juga berperan dalam memecahkan berbagai
permasalahan yang terjadi. Karena itu peran tokoh masyarakat di dalam
lingkungan masyarakat, sangat berperan penting dalam mendukung penyelenggaraan
pembentukan kepribadian di kalangan
para remaja. Selain
memberikan dukungan dalam
menyelenggaraan pembentukan kepribadian pada
remaja, tokoh masyarakat juga mempunyai peranan penting dalam memberikan
bimbingan, dan memberi pengarahan kepada remaja dalam pembentukan kepribadian
ini.
Menurut Effendi (2013:72) “peran adalah mutlak
apabila kita mengemban suatu tugas atau fungsi, karena peran adalah amanah yang
harus diemban dan dipertanggung jawabkan”. Artinya seseorang yang telah diberi
amanah harus menjalankan hak-hak dan kewajiban sesuai dengan kedudukannya. Oleh
sebab itu, tokoh masyarakat mempunyai peranan yang sangat penting dalam
melaksanakan suatu yang telah menjadi kewajibannya.
Peran merupakan sesuatu yang melekat pada
kedudukan manusia sebagai makhluk sosial, dan diharapkan menjalankan perannya
sesuai dengan tuntutan pada kedukukannya tersebut. Fungsi bimbingan serta
pengarahan yang diberikan oleh tokoh masyarakat tersebut, harus sesuai dengan
kondisi yang terjadi di dalam masyarakat. Sebagai pemegang peranan yang sangat
penting dalam lingkungan masyarakat, tokoh masyarakat menjadi panutan dalam
memahami serta menerapakan nilai dan norma yang berlaku di masyarakat secara
luas.
Berbagai upaya dapat dilakukan oleh tokoh
masyarakat dalam menegakkan nilai dan norma, satu diantaranya dapat memberikan
bimbingan dan motivasi di dalam pembentukan kepribadian remaja. Upaya dalam
memberikan bimbingan dalam pergaulan, serta motivasi kepada remaja mengenai
hal-hal baik yang selayaknya dilakukan, agar dapat terhindar dari hal-hal buruk
yang tidak selayaknya dilakukan. Hal tersebut dilakukan agar remaja terhindar
dari kepribadian yang tidak baik.
Menurut Asmani (2011: 13) “remaja merupakan masa
yang paling bergejolak dalam kehidupan manusia”. Masa ini berlangsung dari usia
sekitar 12 tahun sampai 20 tahun, dimana seorang anak mulai mengalami
transformasi dari anak-anak menjadi usia dewasa. Masa ini juga menjadi masa
dimana remaja belajar dan berkembang dalam mengenali diri dan lingkungan
sekitarnya.
Masa remaja adalah masa penuh warna dan dinamika,
disertai rangkaian gejolak emosi yang menghiasi perjalanan seorang manusia yang
hendak tumbuh dewasa. Bagi remaja, di masa inilah mereka mulai mengenal
lingkungan luar. Para remaja akan cenderung semakin memperluas lingkungan
pergaulannya, baik berinteraksi secara langsung maupun dengan perantara
teknologi (seperti internet dan telepon genggam).
Peran tokoh masyarakat sangat penting sebagai
motivator dan pembimbing. Dalam peranannnya sebagai motivator, tokoh masyarakat
memberikan motivasimotivasi yang dapat membangun dan membentuk remaja ke arah
kepribadian yang baik. Remaja juga akan merasa lebih memiliki harapan akan
kehidupan yang baik dari motivasi yang telah diberikan. Sebagai pembimbing,
tokoh masyarakat juga dapat membentuk kepribadian remaja melalui bimbingan
secara terusmenerus hingga mencapai titik keberhasilan.
C.
Perilaku
Keagamaan
1.
Pengertian Perilaku Keagamaan
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, 2004 :755) Perilaku adalah tanggapan atau reaksi
individu terhadap rangsangan. Menurut Hasan Langgulung (2008 :139) Perilaku
adalah segala aktivitas seseorang yang dapat diamati.
Pengertian perilaku keagamaan dapat dijabarkan
dengan cara mengartikan perkata. Kata perilaku dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia Pusat Bahasa yaitu tanggapan atau reaksi individu terhadap rangsangan
atau perilaku. (Departemen Pendidikan Nasional 2005 : 859).
Menurut Bimo Walgito (2010 : 11) Perilaku
merupakan seperangkat perbuatan atau tindakan seseorang dalam melakukan respon
terhadap sesuatu dan kemudian dijadikan kebiasaan karena adanya nilai yang
diyakini. Perilaku atau aktivitas yang ada pada individu atau organisme tidak timbul
dengan sendirinya, tetapi sebagai akibat dari adanya stimulus atau rangsangan
yang mengenainya, yaitu dorongan untuk bertindak dalam rangka memenuhi
kebutuhan dan mencapai tujuan.
Sedangkan menurut (W.J.S. Poerwadaminta 2001 : 7),
perilaku adalah tanggapan atau reaksi individu yang terwujud dalam gerakan dan
sikap yang muncul dalam perbuatan yang nyata atau ucapan.
Sedangkan dalam bukunya Hasan Langgulung (2000 :
306) yang berjudul “Asas-asas Pendidikan Islam” Al-Ghozali berpendapat bahwa
perilaku atau tingkah laku adalah sebagai berikut:
Tingkah
laku mempunyai penggerak (motivasi), pendorong dan tujuan.
Motivasi itu bersifat dari dalam yang muncul dari
diri manusia itu sendiri, tetapi ia rangsang dengan rangsangan-rangsangan dari
luar atau rangsangan-rangsangan dari dalam yang berhubungan dengan
kebutuhan-kebutuhan jasmani dan kecenderungan-kecenderungan alamiah, seperti
rasa lapar, cinta dan takut kepada Allah.
Motivasi-motivasi
manusia mendapati dirinya terdorong untuk mengerjakan sesuatu.
Tingkah laku ini mengandung rasa kebutuhan dengan
perasaan tertentu dan kesadaran akal terhadap suasanatersebut. Ini semua
disertai oleh aktivitas jenis tertentu yang tidak terpisah dari rasa, perasaan
dan kesadaran dari suasana itu.
Kehidupan psikologi adalah suatu perbuatandinamis,
dimana perilaku interaksi terus menerus antara tujuan atau motivasi dengan
tingkah laku.
Tingkah laku itu bersifat individual yang berada
menurut perbedaan faktor-faktor keturunan dan perolehan atau proses belajar.
Tingkah
laku ada dua tingkatan.Tingkatan pertama manusia berdekatan dengan semua
makhluk hidup, yang dikuasai oleh motivasi-motivasi sedangkan pada tingkatan
yang kedua ia mencapai cita-cita idealnya dan mendekatkan pada makna-makna
ke-Tuhanan dengan tingkah laku malaikat, tingkat ini dikuasai oleh
keimanan dan akal.
Sedangkan keagamaan dapat dikemukakan beberapa
pendapat yaitu Menurut Muhaimin (2004 : 297). Keagamaan atau religiusitas
menurut Islam adalah“melaksanakan ajaran agama atau ber-Islam secara
menyeluruh,karena itu setiap muslim baik dalam berpikir maupun bertindak
perintahkan untuk ber-Islam”.
Yang bermakna keagamaan adalah banyak atau
sedikitnya kesadaran akan ketergantungan pada seorang dewa atau
Tuhan.Ketergantungan atau komitmen ini dibuktikan pada diri pribadi seorang,
pengalaman- pengalaman, keyakinan-keyakinan dan angan-angan dan mendorong
seseorang melaksanakan kebaktian keagamaandan bertingkah laku yang susila dan
aktivitas lainnya.
Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan, bahwa
perilaku keagamaan adalah perilaku atau tingkah laku seseorang yang diwujudkan
dengan perbuatan dan menjadi kebiasaan dalam rangka menjalankan ajaran agama
yang didasari nash al-Qur’an dan al-Hadits. Perilaku-perilaku ini antara lain
dibentuk melalui pendidikan agama. Pendidikan agama dimaksudkan untuk
peningkatan potensi spiritual dan membentuk peserta didik agar menjadi manusia
yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berakhlak mulia.
(Subyantoro, 2010 : 46 ).
Agar setiap satuan pendidikan dapat menjalankan
fungsi sosialisasinya sebagai tempat mendidik manusia muslim sesuai dengan
tujuan pendidikan nasional, maka hendaknya pendidikan mampu menciptakan suasana
kondusif yang memberikan peluang kepada pesertadidik untuk mengamalkan ajaran
agamanya. Dengan demikian setiap peserta didik, pendidik, dan semua yang berada
di dalam lingkungan pendidikan harus menunjukkan perilaku yang mencerminkan
ajaranagamanya yakni perilaku keagamaan atau religiusitas.
Keagamaan atau religusitas dapat diwujudkan dalam
berbagai sisi kehidupan manusia. Aktivitas beragama tidak hanya terjadi ketika
seseorang melakukan perilaku ritual (beribadah), tetapi juga ketika melakukan aktivitas lain yang didorong oleh
kekuatan supranatural. Bukan hanya yang berkaitan dengan aktivitas yang tampak
dan dapatdilihat dengan mata, tetapi juga aktivitas yang tidak tampak dan
terjadi dalam hati seseorang. Karena itu, keagamaan seseorang akan meliputi
berbagai macam sisiatau dimensi.
Menurut Glock & Stark sebagaimana yang dikutip
oleh Muhaimin menjelaskan bahwa agama adalah sistem simbol, sistem
keyakinan,sistem nilai, dan sistem perilaku yang terlembagakan, yang semuanya
itu berpusat pada persoalan-persoalan yang dihayati sebagai yang paling maknawi
(ultimate meaning).
Ada lima macam dimensi keagamaan ,yaitu :
Dimensi keyakinan
Dimensi praktik agama
Dimensi pengalaman
Dimensi pengetahuan agama
Dimensi pengamalan atau konsekuensi
Secara garis besar, kelima dimensi tersebut dapat dijelaskan sebagai
berikut :
Dimensi keyakinan
Dimensi ini berisikan pengharapan-pengharapan
dimana orang yang religius berpegang teguh pada pandangan teologi
tertentu,mengakui keberadaan doktrin-doktrin tersebut, setiap agama
mempertahankan seperangkat kepercayaan dimana para penganutdiharapkan akan
taat. Walaupun demikian, isi ruang lingkupkeyakinan itu bervariasi, tidak hanya
diantara agama-agama, tapiseringkali juga diantara tradisi-tradisi dalam agama
yang sama. (Djamaludin Ancok, 2003 : 77).
2.
Dimensi praktik agama
Dimensi ini mencakup perilaku pemujaan, ketaatan,
dan hal-hal yang dilakukan orang untuk menunjukkan komitmen terhadap agamayang
dianutnya. 17 Praktik-praktik keagamaan ini terdiri atas dua kelas penting,
yaitu :
Ritual mengacu pada seperangkat ritus, tindakan
keagamaan formaldan praktek-praktek suci yang semua mengharapkan para penganutnya
melaksanakannya.
Ketaatan mempunyai perangkat tindakan persembahan
yang relative spontan, informal, dan khas pribadi. Dalam agama Islam, perintah-
perintah yang harus dilaksanakan diantaranya yaitu :
Sholat Puasa Ramadhan Zakat
3. Dimensi
pengalaman
Dimensi ini berisikan dan memperhatikan fakta
bahwa semua agama mengandung pengharapan-pengharapan tertentu, meski tidak
tepat jika dikatakan seseorang beragama dengan baik pada suatu waktu akan
mencapai pengetahuan subyektif dan langsung mengenai kenyataan terakhir bahwa
ia akan mencapai suatu kontak dengan kekuatan super natural. Dimensi ini
berkaitan dengan pengalaman keagamaan, perasaan-perasaan, persepsi-persepsi dan
sensasi-sensasi yang dialami seseorang. Salah satu pengalaman agama adalah
perasaan sabar ketika mendapat ujian dari Allah.
4.
Dimensi pengetahuan agama
Dimensi ini mengacu pada harapan bahwa orang-orang
yang beragama paling tidak mempunyai jumlah minimal pengetahuan mengenai
dasar-dasar keyakinan, ritus-ritus, kitab suci dan tradisi. Dimensi pengetahuan
agama pada peserta didik meliputi pengetahuan maupun materi pendidikan agama
Islam yang nantinyaakan menjadi bekal dalam kehidupan sehari-hari, sehingga
bisa berperilaku sesuai dengan ajaran agama. Adapun materi pendidikan agama
Islam di pendidikan lebih cenderung bersifat teori atau pengetahuan, namun
tidak sedikit pula pendidikan yang menekankan pada penanaman jiwa agama dengan
membiasakan sifat-sifat dan perilaku
yang baik sesuai ajaran agama Islam.Materi
pendidikan Islam adalah ajaran Islam yang terdiri
atas seluruh dasar- dasar atau pokok-pokok ajaran Islam.
Dalam hal ini,penulis akan sedikit membahas
tentang materi pendidikan Agama Islam diantaranya yaitu:
a). Aqidah b). Syari’ah c). Akhlak
4. Dimensi pengamalan atau konsekuensi
Dimensi ini mengacu kepada identifikasi
akibat-akibat keyakinan keagamaan, praktek, pengalaman, dan pengetahuan
seseorang dari hari ke hari.30Dimensi ini berkaitan dengan perilaku seseorang
yang dimotivasi oleh ajaran agamanya atau bagaimana seseorang mengamalkan
ajaran agamanya dalam kehidupan sehari – hari. Dalamhal ini, misalnya suka
menolong, menegakan kebenaran dan keadilan,berlaku jujur, memaafkan, menjaga
amanat, menjaga lingkungan,tidak mencuri, tidak berjudi.
Kesimpulan
Berdasarkan
permasalahan yang penulis paparkan di atas, maka sebagai bab akhir dapat
diambil beberapa pemahaman dan kesimpulan yaitu sebagai berikut:
Kemerosotan moral remaja
yang terjadi di Kelurahan Dusun Kebun dapat berbentuk merokok sebelum waktunya,
bolos pada saat jam belajar sedang berlangsung, kebut-kebutan di jalan, dan
tawuran yang membuat tokoh masyarkat resah. Faktor lain dari kemerosotan moral
tersebut ialah masih banyak remaja yang melakukan perbuatan menyimpang seperti
kurang ajar terhadap orang tua, waktu shalat di lakukan untuk bermain game,
sering menongkrong hingga larut malam, dan lambatnya tokoh-tokoh masyarakat
dalam menanggapi kenakalan remaja.
Kendala yang dihadapi
oleh tokoh masyarakat dalam mengatasi kenakalan remaja di Kelurahan Dusun Kebun
adalah lambatnya kesadaran dan partisipasi tokoh masyarakat dalam pembinaan
moral untuk mengatasi masalah yang timbul di kalangan remaja, suatu kenakalan
yang terjadi di kalangan remaja tidak terlepas dari keteladanan yang di
contohkan oleh masyarakat itu sendiri seperti merokok sembarangan, Rendahnya
pengetahuan agama akan berdampak buruk pada diri remaja, kurangnya pendidikan
karakter keteladanan yang di bangun oleh orang tua di rumah, kurangnya
pembentukkan karakter melalui penanaman nilai-nilai yang di berikan oleh guru di
sekolah, selanjutnya perlu adanya keteladanan yang dibangun oleh para
masyarakat melalui keteladanan para pemimpin atau tokoh masyarakat. Kurangnya
pengetahuan agama bagi remaja, dan pengaruh pergaulan remaja yang buruk.
Upaya tokoh masyarakat
dalam mengatasi kenakalan remaja di Kelurahan Dusun Kebun seperti menguatkan
perilaku keagamaan yang di bentuk oleh ketua pemuda Kelurahan Dusun Kebun yaitu
berupa Organisasi Ikatan Remaja Masjid (IRM) Al-Ikhsan,
yang di lakukan rutinitas seperti
Pengajian
satu kali dalam seminggu yaitu pada malam minggu, kegiatan Hadrah di lakukan
rutin satu kali dalam 2 minggu, dan kegiatan yasinan di lakukan rutin satu kali
dalam seminggu yaitu pada setiap malam kamis.
PUSTAKA
Asmani,
Jamal Ma’mur.2011.Kiat Mengatasi Kenakalan Remaja di Sekolah.
Jogjakarta:
Bukubiru
Ali Abdul Halim Mahmud,
Akhlak Mulia, (Jakarta: Gema Insani Press, 2004) Aliah B. Purwakania Hasan,
Psikologi Perkembangan Islami: Menyingkap
Rentang Kehidupan Manusia Dari Prakelahiran Hingga Pasca
Kematian, Ed 1-1, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006)
Bimo Walgito, Pengantar Psikologi Umum (Yogyakarta: Andi Ofset, 2010)
Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta, (2004)
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar BahasaIndonesia
Pusat Bahasa (Jakarta: Balai Pustaka, 2005)
Danim, Sudarwan. 2006. Agenda Pembaruan Sistem Pendidikan.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Djamaludin Ancok, Psikologi Islami, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003)
Efendi, Taufiq.
2013. Peran. Tanggerang Selatan :Lotubooks.
Hasan
Langgulung, Beberapa Pemikiran Tentang Pendidikan Islam, (Bandung:
Al-Ma’arif,2008)
Hasan Langgulung, Asas-asas Pendidikan Islam (Jakarta: Al-Husna,2000)
Koentjaraningrat.
2004. Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta: Gramedia
Lexy J Moleong ,2012. Metode Penelitian Kualitatif.Bandung: PT Remaja
Rosdakarya