Powered By Blogger

Senin, 06 September 2021

 

DEKADENSI MORAL REMAJA DAN PERAN TOKOH MASYARAKAT DALAM MENGUATKAN PERILAKU KEAGAMAAN

DI PERUMAHAN GRUJUGAN

 

ABDUL HASAN RAPAI

Dosen Tetap STIT Al-Ishlan Bondowoso

rifayhr@gmail.com

 

ABSTRAK

 

 

     Perilaku adalah tanggapan atau reaksi individu terhadap rangsangan atau lingkungan. Sedangkan keagamaan berasal dari kata dasar agama yang berarti sistem, prinsip kepercayaan kepada Tuhan dengan ajaran kebaktian dan kewajiban yang bertalian dengan kepercayaan itu. Dengan demikian perilaku keagamaan berarti segala tindakan itu perbuatan atau ucapan yang dilakukan seseorang sedangkan perbuatan atau tindakan serta ucapan akan berkaitan dengan agama, semuanya dilakukan karena adanya kepercayaan kapada Tuhan dengan ajaran, kebaktian dan kewajiban-kewajiban yang bertalian dengan kepercayaan.

Penulis mencoba menjabarkan secara deskriptif bertujuan (1) Ingin Mengetahui penyebab terjadinya kenakalan remaja di Perumahan Grujugan. (2) Ingin Mengetahui Kendala Tokoh Masyarakat dalam Mengatasi Kenakalan Remaja di Perumahan Grujugan. (3) Ingin Mengetahui Upaya Tokoh Masyarakat dalam Menguatkan Perilaku Keagamaan Pada Remaja di Perumahan Grujugan.

Kata Kunci : Peran Tokoh Masyarakat, Menguatkan Perilaku Keagamaan

 

 

 

 

 

 

 

1.      PENDAHULUAN

Pada era globalisasi sekarang ini di mana perkembangan informasi tersebar luas yang dapat diakses dengan sangat mudah, hal ini menyebabkan berbagai nilai-nilai atau sesuatu dari luar yang berdampak negatif tidak lagi dapat di saring sehingga dengan mudah mempengaruhi pemikiran dan karakter generasi (generasi masa kini) sehingga menimbulkan kekhawatiran terhadap proses pencarian jati diri yang terkait merosotnya keyakinan terhadap nilai- nilai keagamaan, nasionalisme, nilai sosial budaya bangsa dan perkembangan moralitas individu. Hal ini menimbulkan kecemasan sehingga memerlukan suatu pendekatan yang lebih serius dalam memperkokoh jati diri generasi muda melalui pendidikan karakter dan budaya bangsa.

Di negara-negara maju, pembangunan karakter menjadi satu elemen penting dalam proses pendidikan guna menerapkan kembali nilai-nilai yang baik dan menyaring segala bentuk unsur negatif yang dapat mempengaruhi tingkahlaku di kalangan anak-anak dan tidak terkecuali di kalangan remaja (Ilham Hudi, 2017: 30-40 ).

Salah satunya adalah bentuk dekadensi moral remaja (kemerosotan moral) yang terjadi di Perumahan Grujugan.

Di era Globalisasi saat ini banyak budaya dari luar baik itu yang positif atau negative masuk ke Negara Indonesia. Budaya ini secara otomatis mempengaruhi moral dan perilaku remaja dan bisa mengarah yang dapat menimbulkan dekadensi moral, sehingga fenomena dekadensi moral sudah menjadi hal yang tidak asing lagi yang hadir di tengah masyarakat dunia sejak zaman dahulu hingga sekarang. Kalangan yang sangat rentan mengalami dekadensi moral adalah remaja.

Banyak faktor yang menjadi penyebabnya, salah satu faktor yang mempunyai pengaruh paling besar adalah factor budaya berupa teknologi dan media yang tak asing lagi dikalangan pelajar Indonesia. Media tersebut banyak memperkenalkan tradisi  barat hingga pada akhirnya menumbuhkan  jiwa-jiwa westernisasi. Tradisi ini dipaparkan melalui banyak media, seperti telivisi, internet dan lain sebagainya. Media tersebut memberikan dampak yang luar biasa di kalangan remaja saat ini, baik dampak positif ataupun dampak negatif. Budaya-budaya lokal saat ini sudah mulai luntur dan bahkan malah remaja saat ini tidak tahu budaya asli kita sendiri. Salah satu contoh yang sangat ironis yang melanda di kalangan remaja sekarang adalah banyaknya remaja yang megikuti budaya luar seperti budaya orang Amerika dan lain sebagainya. Hal yang di khawatirkan sekarang adalah mulai berkurangnya rasa nasionalisme remaja di karenakan masuknya budaya luar yang lebih menarik. Hal ini mungkin dinilai sebagai hal kecil dan sepele, namun dekadensi moral terjadi di mulai dari hal yang sepele seperti mengikuti budaya asing dalam mode berpakaian, berbicara, dan tradisi yang tidak sesuai dengan kepribadian remaja bahkan dapat mengurangi keimanan dan akhirnya meninggalkan nilai-nilai keagamaan hanya karena ingin mengikuti trend yang di adopsi dari budaya asing.

 

Kepedulian masyarakat merupakan dorongan yang datang dari luar, sehingga apabila masyarakat acuh maka dengan mudahnya dia akan berani melanggar peraturan-peraturan dan hukum-hukum sosial itu. Berbeda ketika setiap orang teguh keyakinan terhadap Allah SWT dan menjalankan agama dengan sungguh-sungguh, tidak perlu lagi pengawasan yang ketat, karena setiap orang sudah mampu mengawasi dirinya sendiri, tidak melanggar  hukum dan ketentuan-ketentuan agama Islam.

Kurang efektifnya pembinaan moral yang dilakukan dalam rumah tangga, sekolah, maupun masyarakat, dan ketentuan-ketentuan agama yang ketat, Pembinaan moral anak selama ini banyak dilakukan dengan cara mendidik anak untuk berperilaku yang baik dan tidak melakukan hal buruk, sehingga anak akan dibesarkan tanpa mengenal moral itu, bukan dengan dibiasakan menanamkan sikap yang dianggap baik untuk menumbuhkan  moral anak.

Merosotnya nilai-nilai moral dan karakter remaja ini dapat dilihat dari beberapa bentuk kejadian dan perilaku tindakan dalam berbagai jenis, bentuk, dan polanya yang sering dijumpai dalam kehidupan dan media massa.

Bentuk-bentuk kenakalan remaja yang ada di Perumahan Grujugan yaitu dapat berbentuk seperti merokok sebelum waktunya, berkeliaran pada jam sekolah, kebut-kebutan di jalan, tawuran antar pelajar, dan perilaku lainnya yang melanggar nilai etika dan norma susila di kalangan remaja/pelajar.

Menurut (Dewi, 2009:61) Masa remaja diwarnai oleh pertumbuhan, perubahan, munculnya berbagai kesempatan, dan seringkali menghadapi resiko-resiko kesehatan. Pada masa ini terjadi perubahan fisik yang ditandai dengan munculnya tanda-tanda seks primer dan sekunder serta perubahan kejiwaan meliputi perubahan emosi menjadi sensitive dan perilaku ingin mencoba hal- hal baru.

Meskipun remaja sudah matang secara organ seksual, tetapi emosi dan kepribadiannya masih labil karena masih mencari jati dirinya sehingga rentan terhadap berbagai godaan dan lingkungan pergaulannya. Oleh karena itu, remaja sangat mudah terpengaruh dengan lingkungannya termasuk pengaruh- pengaruh negatif seperti melakukan tindakan-tindakan yang menyimpang dan bisa merugikan dirinya dan orang lain.

Pentingnya memperbaiki moral atau akhlak remaja adalah untuk menyadarkan para generasi muda sebagai generasi penerus bangsa agar tahu peran dan tanggung jawabnya, agar tidak bersifat egois, dapat bertindak dengan bijak, dan menjadi ujung tombak kesuksesan bangsa dan negara. Dilihat dari aspek regenerasi, maka persoalan pembinaan moral remaja menjadi lebih penting. Sebagai generasi penerus cita-cita perjuangan bangsa, remaja lebih diarahkan dan dipersiapkan sedemikian rupa sehingga benar- benar merupakan jaminan kelangsungan hidup berbangsa dan bernegara serta mempunyai nilai-nilai agama yang luhur.

Berdasarkan pengamatan awal ( Graand tour) yang di lakukan oleh peneliti  di  Kelurahan  Dusun  Kebun  terlihat  bahwa  pertama,  sejak  dahulu kemerosotan moral umum terjadi di Perumahan Grujugan, dan tidak heran melihat kenakalan remaja di tempat tersebut yang di perlihatkan dengan jelas bahwa masih banyak terdapat remaja yang moralnya merosot yang melakukan perbuatan menyimpang. Kedua, moral remaja banyak yang merosot seperti kurang ajar terhadap orang tua, merokok sebelum waktunya, kebut-kebutan di jalan, bolos pada saat jam belajar sedang berlangsung, dan tawuran yang membuat masyarakat resah. Ketiga, lambatnya tokoh-tokoh masyarakat dalam menanggapi kemerosotan moral remaja di Perumahan Grujugan sehingga dari tahun ke tahun peristiwa seperti ini sering terjadi yang mengkhawatirkan akan berdampak buruk bagi para remaja kedepanya dan dapat menganggu ketertiban masyarkat di Perumahan Grujugan.

Berdasarkan latar belakang, penulis merumuskan judul “ Dekadensi Moral Remaja Dan Peran Tokoh Masyarakat Dalam Menguatkan Perilaku Keagamaan Di Perumahan Grujugan”.

 

           


II. KAJIAN KEPUSTAKAAN

A.    Dekadensi Moral

1.      Pengertian Dekadensi Moral

Dekadensi dalam kamus bahasa Indonesia berarti penurunan, kemunduran, kemerosotan kebudayaan. Istilah moral berasal dari kata Latin “mos” (moris), yang berarti adat istiadat, kebiasaan,peraturan/nilai-nilai atau tatacara kehidupan (Syamsyu YusufLN, 2005:132).

Akhlak (moral) adalah sebuah sistem yang lengkap yang terdiri dari karakter-karakter akal atau tingkah laku yang membuat seseorang menjadi istimewa. Karateristik-karakteristik ini membuat kerangka psikologi seseorang dan membuatnya berprilaku sesuai dengan dirinya dan nilai yang cocok dengan dirinya dalam kondisi yang berbeda-beda.

Dalam kamus La Lande, moral memiliki empat makna, yaitu :

Moral adalah sekumpulan kaidah bagi perilaku yang diterima dalam satu zaman atau sekelompok orang. Dengan makna ini moral bisa bersifat keras, buruk, atau rendah.

Moral adalah sekumpulan kaidah bagi perilaku yang dianggap baik berdasarkan kelayakan bukannya berdasarkan syarat.

Moral adalah teori akal tentang kebaikan dan keburukan, ini menurut filsafat.

Tujuan-tujuan kehidupan yang mempunyai warna humanisme yang kental yang tercipta dengan adanyahubungan-hubungan sosial (Ali Abdul Halim Mahmud 2004 : 26-27).

Moral merupakan kaidah norma dan pranata yang mengatur perilaku individu dalam hubungannya dengan kelompok sosial dan masyarakat. Moral merupakan standar baik-buruk yang ditentukan bagi individu oleh nilai-nilai sosial budaya dimana individu sebagai anggota sosial. (Mohammad Ali, Mohammad Asrori, 2012 : 136)

Secara umum, moralitas dapat dikatakan sebagai kapasitas untuk membedakan yang benar dan yang salah, bertindak atas perbuatan tersebut,

dan mendapatkan penghargaan diri ketika melakukan yang benar dan merasa bersalah atau malu ketika melanggar standar tersebut. (Aliah B. Purwakania Hasan, 2006 : 261 )

Pendapat lain juga dikemukakan oleh Sastrapedja yang dikutip oleh Sutarjo Adisusilo mengatakan bahwa moralitas adalah segala hal yang terkait dengan moral, terkait dengan perilaku manusia dan norma-norma yang dipegang oleh masyarakat yang mendasarinya. Oleh sebab itu, moralitas merupakan sistem nilai bagaimana seseorang seharusnya hidup secara baik sebagai manusia. (Sutarjo Adisusilo, 2014 : 54).

Perkembangan teknologi saat ini, yang ditandai hadirnya zaman modern, termasuk di Indonesia diikuti oleh gejala dekadensi moral yang benar-benar berada pada taraf yang memprihatinkan. Akhlak mulia seperti kejujuran, kebenaran, keadilan, tolong menolong, tepo seliro (toleransi), dan saling mengasihi sudah mulai terkikis oleh penyelewengan, penipuan, permusuhan, penindasan, saling menjatuhkan, menjilat, mengambil hak orang lain secara paksa dan sesuka hati, dan perbuatan-perbuatan tercela yang lain. Kemerosotan moral atau yang sering kita dengar dengan istilah ‘dekadensi moral’ sekarang ini tidak hanya melanda kalangan dewasa, melainkan juga telah menimpa kalangan pelajar yang menjadi generasi penerus bangsa. Orang tua, guru, dan beberapa pihak yang berkecimpung dalam bidang pendidikan, agama dan sosial banyak mengeluhkan terhadap perilaku sebagian pelajar yang berperilaku di luar batas kesopanan dan kesusilaan, semisal: perkelahian antar pelajar, banyak berkeliarannya pada jam sekolah, kebut-kebutan di jalan raya, dan perilaku lainnya yang melanggar nilai etika dan norma susila di kalangan remaja/ pelajar.

 

 

Dengan begitu, bukanlah tanpa bukti untuk mengatakan bahwa kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi juga memiliki konsekuensi logis terciptanya kondisi yang mencerminkan kemerosotan akhlak (dekadensi moral) (Haidar Putra Daulay, 2012:141).

Sedangkan menurut Syed Sajjad Husain dan Syed Ali Ashraf (2000:23) berpendapat bahwa saat ini masyarakat tengah mengalami krisis moral dan

kejiwaan sebagai akibat dari gelombang krisis materialisme. Tradisi hidup materialistik tidak menjadikan moralitas sebagai anutan, akan tetapi kekayaan yang dijadikan ukuran kemuliaan dan kehormatan.

Dekadensi moral yang ditunjukkan oleh sebagian generasi muda harapan masa depan tersebut, meskipun tidak besar prosentasenya, namun menjadi sesuatu yang disayangkan dan bahkan mencoreng kredibilitas dan kewibawaan dunia pendidikan. Para pelajar yang seharusnya menunjukkan sikap dan perbuatan yang bermuatan akhlak mulia justru menunjukkan tingkah laku yang sebaliknya. Tidaklah berlebihan ketika dalam kasus ini kita sebagai pihak yang ikut serta dalam dunia pendidikan merasa gelisah dan ikut bertanggung jawab di dalamnya. Pendidikan memang mempunyai dua fungsi utama, yaitu sebagai transfer nilai (transformation of value) dan transfer pengetahuan (transformation of knowledge). Sebagai fungsi transfer nilai, dunia pendidikan diharapkan mampu mentransfer nilai-nilai, norma- norma, dan budi pekerti luhur (akhlakul karimah). Sebagai fungsi transfer pengetahuan, dunia pendidikan diharapkan mampu mentransfer ilmu pengetahuan dan teknologi pada anak didik (Nurul Zuriah, 2008:175). Persoalan yang muncul kemudian adalah seiring perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang diagung-agungkan justru tidak disertai dengan perkembangan nilai atau moralitas yang baik, malah justru sebaliknya.

2.      Faktor-faktor terjadinya Dekadensi Moral

Sebelum kita menawarkan solusi terbaik dari kejadian kemerosotan moral di kalangan generasi tunas bangsa, alangkah lebih baiknya kita mencari sebab atau mengidentifikasi faktor-faktor penyebab timbulnya dekadensi moral.

Banyak faktor yang bisa menyebabkan timbulnya perilaku menyimpang di kalangan remaja. Diantaranya adalah sebagaimana dijelaskan berikut ini. Pertama, longgarnya pegangan terhadap agama. Sudah menjadi tragedi di dunia maju, dimana segala sesuatu hampir dapat dicapai dengan ilmu pengetahuan,  sehingga  keyakinan  beragama  mulai  terdesak, kepercayaan

terhadap Tuhan tinggal simbol, larangan-larangan dan perintah-perintah Tuhan tidak diindahkan lagi. Dengan longgarnya pegangan seseorang pada ajaran agama, maka hilanglah kekuatan pengontrol yang ada di dalam dirinya. Dengan demikian, satu-satunya alat pengawas dan pengatur moral yang dimilikinya adalah masyarakat dengan hukum dan peraturannya.

Di sinilah yang menurut Abdul Munir Mulkhan (2008:29) sebagai “conditioning” terjadinya evolusi budaya masyarakat. Akan tetapi, jika setiap orang dengan teguh memegang keyakinannya kepada Tuhan serta menjalankan agama dengan sungguh-sungguh, tidak perlu lagi adanya pengawasan yang ketat, karena setiap orang sudah dapat menjaga dirinya sendiri dan mampu menyeleksi pengaruh dari lingkungan (“Structured Person” - meminjam istilah yang dipakai A. Munir Mulkhan). Sebaliknya, dengan semakin jauhnya masyarakat dan agama (sekuler), semakin susah memelihara moral orang dalam masyarakat itu, dan semakin kacaulah suasana karena semakin banyak pelanggaran-pelanggaran hukum dan nilai moral. Kedua, kurang efektifnya pembinaan moral yang dilakukan oleh rumah tangga, sekolah, maupun masyarakat.

Pembinaan moral yang dilakukan oleh ketiga institusi ini tidak berjalan menurut semestinya (normatif) atau yang sebisanya (objektif). Pembinaan moral di rumah tangga misalnya harus dilakukan dan sejak anak masih kecil, sesuai dengan kemampuan dan umurnya. Tanpa dibiasakan menanamkan sikap yang dianggap baik untuk menumbuhkan moral, anak- anak akan dibesarkan tanpa mengenal moral itu. Pembinaan moral yang dilakukan di rumah tangga bukan dengan menyuruh menghafal rumusan tentang baik dan buruk, melainkan harus dibiasakan.

Selain rumah tangga dan sekolah, masyarakat juga memiliki peran dalam pembinaan moral. Masyarakat dapat sebagai kontrol secara eksternal dan bersifat penting dalam pembinaan moral. Hadirnya masyarakat yang rusak moralnya akan sangat berpengaruh pada perkembangan moral anak. Karena kerusakan masyarakat itu sangat besar pengaruhnya dalam pembinaan anak, maka harus segera diatasi. Terjadinya kerusakan moral di kalangan pelajar dan generasi muda sebagaimana dijelaskan di atas, bisa dikarenakan tidak efektifnya peran keluarga, sekolah, dan masyarakat dalam pembinaan moral. Dengan begitu ketiga instansi pendidikan ini harus berjalan seiringan dalam pendidikan atau pembinaan moral.

3.      Pendidikan Moral

Pendidikan sejati merupakan proses pembentukan moral masyarakat beradab, masyarakat yang tampil dengan wajah kemanusiaan dan pemanusiaan yang normal. Kata lainnya, pendidikan adalah ‘moralisasi masyarakat’ terutama peserta didik (Sudarwan Danim, 2006:63-64).

Pendidikan yang dimaksudkan di sini bukan hanya sekedar sekolah (education not only education as schooling), akan tetapi pendidikan sebagai jaring-jaring kemasyarakatan (education as community networks). Hal senada juga disampaikan Mulyasa (2011:5), bahwa pendidikan merupakan sesuatu yang dapat mengembangkan potensi masyarakat, mampu menumbuhkan kemauan, serta membangkitkan nafsu generasi bangsa untuk menggali berbagai potensi, dan mengembangkannya secara optimal bagi kepentingan pembangunan masyarakat secara utuh dan menyeluruh. Pengertian ‘moral’ memiliki pengertian yang sama dengan akhlak (khulq), character, dispotsition, budi pekerti, dan etika (Muhaimin et al., 2007:226). Moralitas, tindakan moral, dan demoralisasi merupakan realitas hidup dan ada di sekitar kita (Danim Sudarwan, 2006:65).

Menurut Ross Poole sebagaimana dikutip Danim Sudarwan (2006:65), terkadang konsep moralitas (morality) itu telah disingkirkan, meski tidak mungkin akan hilang (raib) di dunia ini. Konsep moralitas itu akan menjadi konsep yang bisa kita akui memiliki tempat di dalam suatu cara hidup yang koheren, bermakna dan memuaskan bagi kita. Kebermaknaan itu tercermin dari keamanan, kenyamanan, kebersahabatan, kebertanggung jawaban, ketenangan, tanpa prasangka, kepastian bertindak, memegang kesepakatan, dan keceriaan hidup. Dalam Islam moral sering merupakan terjemahan dari kata akhlak (Abuddin Nata, 2012:209).

Berdasarkan definisi-definisi tersebut terlihat bahwa akhlak terkait dengan perbuatan yang baik, terpuji, bernilai luhur, berguna bagi orang lain. Perbuatan-perbuatan tersebut selanjutnya dijadikan sebagai ukuran atau patokan dalam menentukan tingkah laku orang. Dengan dijadikannya akhlak tersebut sebagai patokan, maka akhlak menjadi moral. Berdasarkan tujuan pendidikan nasional yang tercantum dalam GBHN dan tujuan kelembagaan sekolah serta tujuan pendidikan moral yang diberikan pada tingkat sekolah dan perguruan tinggi, maka pendidikan moral di Indonesia bisa dirumuskan untuk sementara sebagai berikut: “Pendidikan moral adalah suatu program pendidikan (sekolah dan luar sekolah) yang mengorganisasikan dan menyederhanakan sumber-sumber moral dan disajikan dengan memperhatikan pertimbangan psikologis untuk tujuan pendidikan” (Nurul Zuriah, 2008:22).

Menurut paham ahli pendidikan moral, sebagaimana disampaikan Dreeben dalam Nurul Zuriah (2008:22), jika tujuan pendidikan moral akan mengarahkan seseorang menjadi bermoral, yang penting adalah bagaimana agar seseorang dapat menyesuaikan diri dengan tujuan hidup bermasyarakat. Oleh karena itu, dalam tahap awal perlu dilakukan pengondisian moral (moral conditioning) dan latihan (moral training) untuk pembiasaan. John Dewey berpendapat, pendidikan moral hampir sama dengan rasional, dimana penalaran moral dipersiapkan, sebagai prinsip berpikir kritis untuk sampai pada pilihan dan penilaian moral (moral choice and moral  judgment) yang dianggap sebagai pikiran dan sikap terbaiknya (Nurul Zuriah, 2008:22).

 

 

 

B.     Remaja

1.      Pengertian Remaja

Tahapan perkembangan remaja menurut Mapiarre (dalam Moh Ali : 2012:9) berlangsung antara antara umur 12 tahun sampai 22 tahun yaitu umur 12 tahun sampai 21tahun bagi wanita dan 13 tahun sampai 22 bagi pria. Rentang usia remaja ini dibagi menjadi dua bagian yaitu remaja awal dengan rentan usia antara 12/13 tahun sampai 17/18 tahun dan remaja akhir usia 17/18 sampai 21/22 tahun.1Perkembangan masa remaja merupakan periode transisi atau peralihan dari kehidupan masa kanak-kanak ke masa dewasa. periode dimana individu dalam proses pertumbuhannya (terutama pertumbuhan fisik) telah mencapai kematangan, Mereka tidak mau lagi diperlakukan sebagai anak-anak namun mereka belum mencapai kematangan yang penuh dan belum memasuki tahapan perkembangan dewasa. Secara negatif periode ini disebut juga periode “serba tidak” (the “un” stage), yaitu ubbalanced = tidak/belum seimbang, unstable = tidak/belum stabil dan unpredictable =tidak dapat di ramalkan. Pada periode ini terjadi perubahan-perubahan baik dalam segi psikologis, sosial dan intelektual.

2.      Perkembangan fisik dan Kognitif

Masa remaja merupakan masa peralihan antara masa anak-anak ke masa dewasa. Pada masa perkembangan ini, remaja mencapai kematangan fisik, mental, sosial dan emosional. Beberapa penelitian mengenai pertumbuhan fisik pada remaja menunjukkan bahwa pertumbuhan tinggi badan pada masa remaja lebih cepat bila dibandingkan dengan masa-masa sebelumnya, dan perubahan proporsi tubuh pada remaja wanita terjadi lebih cepat dari pada remaja laki-laki, hal ini terlihat dengan jelas bahwa wanita usia 12,13 atau 14 tahun anak wanita lebih tinggi dari pada laki-laki. Pada masa perkembangan remaja juga merupakan tahapan pubertas.

Tahapan pubertas (puberty) adalah sebuah periode dimana kematangan fisik berlangsung cepat, yang melibatkan perubahan hormonal dan tubuh, yang terutama berlangsung dimasa remaja awal.

Menurut Jean Piaget (dalam Moh Ali : 2012:9) remaja dalam tahapan perkembangan kognitifnya memasuki tahap oprasional formal. Tahap oprasional formal ini dialami oleh anak pada usia 11 tahun keatas. Pada tahapan oprasional formal ini, anak telah mampu mewujudkan suatu keseluruhan dalam pekerjaannya yang merupakan hasil dari berpikir logis. Aspek perasaan dan moralnya juga telah berkembang.

Pada tahapan ini menurut piaget (dalam Moh Ali:2012:9), dalam tahapan ini remaja mulai berinteraksi dengan lingkungan dan semakin luas dari pada tahapan anak-anak, remaja mulai berinteraksi dengan teman sebayanya dan bahkan berusaha untuk dapat berinteraksi dengan orang dewasa. Karena pada tahapan ini anak sudah mulai mampu mengembangkan pikiran normalnya, mereka juga mampu mencapai logika dan rasio serta dapat menggunakan abstraksi. Arti simbolik dan kiasan dapat mereka mengerti. Melibatkan mereka dalam suatu kegiatan akan lebih memberikan akaibat positif pada perkembngan kognitifnya.

3.      Ciri-ciri Remaja

Seperti halnya pada semua periode yang penting, sela rentang kehidupan masa remaja mempunyai ciri-ciri tertentu yang membedakannya dengan periode sebelumnya dan sesudahnya. Masa remaja ini, selalu merupakan masa-masa sulit bagi remaja maupun orangtuanya.

Menurut Sidik Jatmika, kesulitan itu berangkat dari fenomena remaja sendiri dengan beberapa perilaku khusus; yakni:

            Remaja mulai menyampaikan kebebasannya dan haknya untuk mengemukakan pendapatnya sendiri. Tidak terhindarkan, ini dapat menciptakan ketegangan dan perselisihan, dan bisa menjauhkan remaja dari keluarganya.

Remaja lebih mudah dipengaruhi oleh teman-temannya dari pada ketika mereka masih kanak-kanak. Ini berarti bahwa pengaruh orangtua semakin lemah. Anak remaja berperilaku dan mempunyai kesenangan yang berbeda bahkan bertentangan dengan perilaku dan kesenangan keluarga. Contoh-contoh yang umum adalah dalam hal mode pakaian, potongan rambut, kesenangan musik yang kesemuanya harus mutakhir.

Remaja mengalami perubahan fisik yang luar biasa, baik pertumbuhannya maupun seksualitasnya. Perasaan seksual yang mulai muncul bisa menakutkan, membingungkan dan menjadi sumber perasaan salah dan frustrasi.

Remaja sering menjadi terlalu percaya diri (over confidence) dan ini bersama-sama dengan emosinya yang biasanya meningkat, mengakibatkan sulit menerima nasihat dan pengarahan oangtua.

Selanjutnya, Sidik Jatmika, menjelaskan adanya kesulitan yang sering dialami kaum remaja yang betapapun menjemukan bagi mereka dan orangtua, merupakan bagian yang normal dari perkembangan remaja itu sendiri.

Beberapa kesulitan atau bahaya yang mungkin dialami kaum remaja antara lain:

            Variasi kondisi kejiwaan. Suatu saat mungkin ia terlihat pendiam, cemberut, dan mengasingkan diri, tetapi pada saat yang lain terlihat sebaliknya, periang, berseri-seri dan yakin. Perilaku yang sulit ditebak dan berubah-ubah ini bukanlah sesuatu yang abnormal. Hal ini hanyalah perlu diprihatinkan dan menjadi kewaspadaan bersama manakala telah menjerumuskan remaja dalam kesulitan-kesulitan di sekolah atau kesulitan dengan teman-temannya.

Rasa ingin tahu seksual dan coba-coba. Hal ini merupakan sesuatu yang normal dan sehat. Rasa ingin tahu seksual dan bangkitnya rasa birahi adalah normal dan sehat. Ingat, perilaku tertarik pada seks sendiri juga merupakan ciri yang normal pada perkembangan masa remaja. Rasa ingin tahu seksual dan birahi jelas menimbulkan bentuk-bentuk perilaku seksual.

Perilaku anti sosial, seperti suka mengganggu, berbohong, kejam dan menunjukkan perilaku agresif. Sebabnya mungkin bermacam-macam dan banyak tergantung pada budayanya. Akan tetapi, penyebab yang mendasar adalah pengaruh buruk teman, dan pendisiplinan yang salah dari orangtua, terutama bila terlalu keras atau terlalu lunak – dan sering tidak ada sama sekali.

4.      Tokoh Masyarakat

Di dalam kehidupan masyarakat, tokoh masyarakat menduduki posisi yang penting, oleh karena itu ia dianggap orang serba tahu dan mempunyai pengaruh yang besar terhadap masyarakat. Sehingga segala tindak-tanduknya merupakan pola aturan yang patut diteladani oleh masyarakat. Tokoh masyarakat merupakan seseorang yang mempunyai pengaruh besar karena peranannya yang penting dalam struktur sosial masyarakat. Oleh karena itu, tokoh masyarakat begitu dihormati dilingkungan masyarakat. Menurut Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1987 BAB 1 Ketentuan Umum Pasal 1 menyatakan bahwa Tokoh Masyarakat adalah “seseorang yang karena kedudukan sosialnya menerima kehormatan dari masyarakat dan/atau pemerintah”.

Tokoh masyarakat merupakan seseorang yang mempunyai pengaruh besar karena peranannya yang penting dalam struktur sosial masyarakat. Oleh karena itu, tokoh masyarakat begitu dihormati dilingkungan masyarakat. Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1987 BAB 1 Ketentuan Umum Pasal 1 menyatakan bahwa Tokoh Masyarakat adalah “seseorang yang karena kedudukan sosialnya menerima kehormatan dari masyarakat dan/atau pemerintah”.

Kedudukan yang diperoleh tokoh masyarakat ini, bisa karena pengetahuannya, kebijaksanaan budi pekertinya, dan kesuksesannya dalam menjalani kehidupan dimasyarakat. Kebijaksanaan dan pengetahuan yang dimiliki tokoh masyarakat biasanya menjadi panutan bagi orang-orang yang sesuai dengan bidangnya masing-masing.

Keberadaan tokoh masyarakat mempunyai peranan yang sangat penting sebagai pengendali sosial dalam masyarakat. Selain berperan sebagai penjaga dan penegak nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku di masyarakat, tokoh masyarakat juga berperan dalam memecahkan berbagai permasalahan yang terjadi. Karena itu peran tokoh masyarakat di dalam lingkungan masyarakat, sangat berperan penting dalam mendukung penyelenggaraan pembentukan kepribadian  di  kalangan  para  remaja.  Selain  memberikan  dukungan  dalam

menyelenggaraan pembentukan kepribadian pada remaja, tokoh masyarakat juga mempunyai peranan penting dalam memberikan bimbingan, dan memberi pengarahan kepada remaja dalam pembentukan kepribadian ini.

Menurut Effendi (2013:72) “peran adalah mutlak apabila kita mengemban suatu tugas atau fungsi, karena peran adalah amanah yang harus diemban dan dipertanggung jawabkan”. Artinya seseorang yang telah diberi amanah harus menjalankan hak-hak dan kewajiban sesuai dengan kedudukannya. Oleh sebab itu, tokoh masyarakat mempunyai peranan yang sangat penting dalam melaksanakan suatu yang telah menjadi kewajibannya.

Peran merupakan sesuatu yang melekat pada kedudukan manusia sebagai makhluk sosial, dan diharapkan menjalankan perannya sesuai dengan tuntutan pada kedukukannya tersebut. Fungsi bimbingan serta pengarahan yang diberikan oleh tokoh masyarakat tersebut, harus sesuai dengan kondisi yang terjadi di dalam masyarakat. Sebagai pemegang peranan yang sangat penting dalam lingkungan masyarakat, tokoh masyarakat menjadi panutan dalam memahami serta menerapakan nilai dan norma yang berlaku di masyarakat secara luas.

Berbagai upaya dapat dilakukan oleh tokoh masyarakat dalam menegakkan nilai dan norma, satu diantaranya dapat memberikan bimbingan dan motivasi di dalam pembentukan kepribadian remaja. Upaya dalam memberikan bimbingan dalam pergaulan, serta motivasi kepada remaja mengenai hal-hal baik yang selayaknya dilakukan, agar dapat terhindar dari hal-hal buruk yang tidak selayaknya dilakukan. Hal tersebut dilakukan agar remaja terhindar dari kepribadian yang tidak baik.

Menurut Asmani (2011: 13) “remaja merupakan masa yang paling bergejolak dalam kehidupan manusia”. Masa ini berlangsung dari usia sekitar 12 tahun sampai 20 tahun, dimana seorang anak mulai mengalami transformasi dari anak-anak menjadi usia dewasa. Masa ini juga menjadi masa dimana remaja belajar dan berkembang dalam mengenali diri dan lingkungan sekitarnya.

Masa remaja adalah masa penuh warna dan dinamika, disertai rangkaian gejolak emosi yang menghiasi perjalanan seorang manusia yang hendak tumbuh dewasa. Bagi remaja, di masa inilah mereka mulai mengenal lingkungan luar. Para remaja akan cenderung semakin memperluas lingkungan pergaulannya, baik berinteraksi secara langsung maupun dengan perantara teknologi (seperti internet dan telepon genggam).

Peran tokoh masyarakat sangat penting sebagai motivator dan pembimbing. Dalam peranannnya sebagai motivator, tokoh masyarakat memberikan motivasimotivasi yang dapat membangun dan membentuk remaja ke arah kepribadian yang baik. Remaja juga akan merasa lebih memiliki harapan akan kehidupan yang baik dari motivasi yang telah diberikan. Sebagai pembimbing, tokoh masyarakat juga dapat membentuk kepribadian remaja melalui bimbingan secara terusmenerus hingga mencapai titik keberhasilan.

C.    Perilaku Keagamaan

1.      Pengertian Perilaku Keagamaan

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 2004 :755) Perilaku adalah tanggapan atau reaksi individu terhadap rangsangan. Menurut Hasan Langgulung (2008 :139) Perilaku adalah segala aktivitas seseorang yang dapat diamati.

Pengertian perilaku keagamaan dapat dijabarkan dengan cara mengartikan perkata. Kata perilaku dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa yaitu tanggapan atau reaksi individu terhadap rangsangan atau perilaku. (Departemen Pendidikan Nasional 2005 : 859).

Menurut Bimo Walgito (2010 : 11) Perilaku merupakan seperangkat perbuatan atau tindakan seseorang dalam melakukan respon terhadap sesuatu dan kemudian dijadikan kebiasaan karena adanya nilai yang diyakini. Perilaku atau aktivitas yang ada pada individu atau organisme tidak timbul dengan sendirinya, tetapi sebagai akibat dari adanya stimulus atau rangsangan yang mengenainya, yaitu dorongan untuk bertindak dalam rangka memenuhi kebutuhan dan mencapai tujuan.

Sedangkan menurut (W.J.S. Poerwadaminta 2001 : 7), perilaku adalah tanggapan atau reaksi individu yang terwujud dalam gerakan dan sikap yang muncul dalam perbuatan yang nyata atau ucapan.

Sedangkan dalam bukunya Hasan Langgulung (2000 : 306) yang berjudul “Asas-asas Pendidikan Islam” Al-Ghozali berpendapat bahwa perilaku atau tingkah laku adalah sebagai berikut:

            Tingkah laku mempunyai penggerak (motivasi), pendorong dan tujuan.

Motivasi itu bersifat dari dalam yang muncul dari diri manusia itu sendiri, tetapi ia rangsang dengan rangsangan-rangsangan dari luar atau rangsangan-rangsangan dari dalam yang berhubungan dengan kebutuhan-kebutuhan jasmani dan kecenderungan-kecenderungan alamiah, seperti rasa lapar, cinta dan takut kepada Allah.

            Motivasi-motivasi manusia mendapati dirinya terdorong untuk mengerjakan sesuatu.

Tingkah laku ini mengandung rasa kebutuhan dengan perasaan tertentu dan kesadaran akal terhadap suasanatersebut. Ini semua disertai oleh aktivitas jenis tertentu yang tidak terpisah dari rasa, perasaan dan kesadaran dari suasana itu.

Kehidupan psikologi adalah suatu perbuatandinamis, dimana perilaku interaksi terus menerus antara tujuan atau motivasi dengan tingkah laku.

Tingkah laku itu bersifat individual yang berada menurut perbedaan faktor-faktor keturunan dan perolehan atau proses belajar.

            Tingkah laku ada dua tingkatan.Tingkatan pertama manusia berdekatan dengan semua makhluk hidup, yang dikuasai oleh motivasi-motivasi sedangkan pada tingkatan yang kedua ia mencapai cita-cita idealnya dan mendekatkan pada makna-makna ke-Tuhanan dengan tingkah laku malaikat, tingkat ini dikuasai oleh keimanan  dan akal.

Sedangkan keagamaan dapat dikemukakan beberapa pendapat yaitu Menurut Muhaimin (2004 : 297). Keagamaan atau religiusitas menurut Islam adalah“melaksanakan ajaran agama atau ber-Islam secara menyeluruh,karena itu setiap muslim baik dalam berpikir maupun bertindak perintahkan untuk ber-Islam”.

Yang bermakna keagamaan adalah banyak atau sedikitnya kesadaran akan ketergantungan pada seorang dewa atau Tuhan.Ketergantungan atau komitmen ini dibuktikan pada diri pribadi seorang, pengalaman- pengalaman, keyakinan-keyakinan dan angan-angan dan mendorong seseorang melaksanakan kebaktian keagamaandan bertingkah laku yang susila dan aktivitas lainnya.

Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan, bahwa perilaku keagamaan adalah perilaku atau tingkah laku seseorang yang diwujudkan dengan perbuatan dan menjadi kebiasaan dalam rangka menjalankan ajaran agama yang didasari nash al-Qur’an dan al-Hadits. Perilaku-perilaku ini antara lain dibentuk melalui pendidikan agama. Pendidikan agama dimaksudkan untuk peningkatan potensi spiritual dan membentuk peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berakhlak mulia. (Subyantoro, 2010 : 46 ).

Agar setiap satuan pendidikan dapat menjalankan fungsi sosialisasinya sebagai tempat mendidik manusia muslim sesuai dengan tujuan pendidikan nasional, maka hendaknya pendidikan mampu menciptakan suasana kondusif yang memberikan peluang kepada pesertadidik untuk mengamalkan ajaran agamanya. Dengan demikian setiap peserta didik, pendidik, dan semua yang berada di dalam lingkungan pendidikan harus menunjukkan perilaku yang mencerminkan ajaranagamanya yakni perilaku keagamaan atau religiusitas.

Keagamaan atau religusitas dapat diwujudkan dalam berbagai sisi kehidupan manusia. Aktivitas beragama tidak hanya terjadi ketika seseorang melakukan perilaku ritual (beribadah), tetapi juga ketika  melakukan aktivitas lain yang didorong oleh kekuatan supranatural. Bukan hanya yang berkaitan dengan aktivitas yang tampak dan dapatdilihat dengan mata, tetapi juga aktivitas yang tidak tampak dan terjadi dalam hati seseorang. Karena itu, keagamaan seseorang akan meliputi berbagai macam sisiatau dimensi.

Menurut Glock & Stark sebagaimana yang dikutip oleh Muhaimin menjelaskan bahwa agama adalah sistem simbol, sistem keyakinan,sistem nilai, dan sistem perilaku yang terlembagakan, yang semuanya itu berpusat pada persoalan-persoalan yang dihayati sebagai yang paling maknawi (ultimate meaning).

Ada lima macam dimensi keagamaan ,yaitu :

Dimensi keyakinan

Dimensi praktik agama

Dimensi pengalaman

Dimensi pengetahuan agama

Dimensi pengamalan atau konsekuensi

Secara garis besar, kelima dimensi tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut :

Dimensi keyakinan

Dimensi ini berisikan pengharapan-pengharapan dimana orang yang religius berpegang teguh pada pandangan teologi tertentu,mengakui keberadaan doktrin-doktrin tersebut, setiap agama mempertahankan seperangkat kepercayaan dimana para penganutdiharapkan akan taat. Walaupun demikian, isi ruang lingkupkeyakinan itu bervariasi, tidak hanya diantara agama-agama, tapiseringkali juga diantara tradisi-tradisi dalam agama yang sama. (Djamaludin Ancok, 2003 : 77).

2.      Dimensi praktik agama

Dimensi ini mencakup perilaku pemujaan, ketaatan, dan hal-hal yang dilakukan orang untuk menunjukkan komitmen terhadap agamayang dianutnya. 17 Praktik-praktik keagamaan ini terdiri atas dua kelas penting, yaitu :

Ritual mengacu pada seperangkat ritus, tindakan keagamaan formaldan praktek-praktek suci yang semua mengharapkan para penganutnya melaksanakannya.

Ketaatan mempunyai perangkat tindakan persembahan yang relative spontan, informal, dan khas pribadi. Dalam agama Islam, perintah- perintah yang harus dilaksanakan diantaranya yaitu :

Sholat Puasa Ramadhan Zakat

3.      Dimensi pengalaman

Dimensi ini berisikan dan memperhatikan fakta bahwa semua agama mengandung pengharapan-pengharapan tertentu, meski tidak tepat jika dikatakan seseorang beragama dengan baik pada suatu waktu akan mencapai pengetahuan subyektif dan langsung mengenai kenyataan terakhir bahwa ia akan mencapai suatu kontak dengan kekuatan super natural. Dimensi ini berkaitan dengan pengalaman keagamaan, perasaan-perasaan, persepsi-persepsi dan sensasi-sensasi yang dialami seseorang. Salah satu pengalaman agama adalah perasaan sabar ketika mendapat ujian dari Allah.

4.      Dimensi pengetahuan agama

Dimensi ini mengacu pada harapan bahwa orang-orang yang beragama paling tidak mempunyai jumlah minimal pengetahuan mengenai dasar-dasar keyakinan, ritus-ritus, kitab suci dan tradisi. Dimensi pengetahuan agama pada peserta didik meliputi pengetahuan maupun materi pendidikan agama Islam yang nantinyaakan menjadi bekal dalam kehidupan sehari-hari, sehingga bisa berperilaku sesuai dengan ajaran agama. Adapun materi pendidikan agama Islam di pendidikan lebih cenderung bersifat teori atau pengetahuan, namun tidak sedikit pula pendidikan yang menekankan pada penanaman jiwa agama dengan membiasakan sifat-sifat  dan perilaku yang baik  sesuai  ajaran agama Islam.Materi

pendidikan Islam adalah ajaran Islam yang terdiri atas seluruh dasar- dasar atau pokok-pokok ajaran Islam.

Dalam hal ini,penulis akan sedikit membahas tentang materi pendidikan Agama Islam diantaranya yaitu:

 

a). Aqidah b). Syari’ah c). Akhlak

4. Dimensi pengamalan atau konsekuensi

Dimensi ini mengacu kepada identifikasi akibat-akibat keyakinan keagamaan, praktek, pengalaman, dan pengetahuan seseorang dari hari ke hari.30Dimensi ini berkaitan dengan perilaku seseorang yang dimotivasi oleh ajaran agamanya atau bagaimana seseorang mengamalkan ajaran agamanya dalam kehidupan sehari – hari. Dalamhal ini, misalnya suka menolong, menegakan kebenaran dan keadilan,berlaku jujur, memaafkan, menjaga amanat, menjaga lingkungan,tidak mencuri, tidak berjudi.

 


 Kesimpulan

Berdasarkan permasalahan yang penulis paparkan di atas, maka sebagai bab akhir dapat diambil beberapa pemahaman dan kesimpulan yaitu sebagai berikut:

Kemerosotan moral remaja yang terjadi di Kelurahan Dusun Kebun dapat berbentuk merokok sebelum waktunya, bolos pada saat jam belajar sedang berlangsung, kebut-kebutan di jalan, dan tawuran yang membuat tokoh masyarkat resah. Faktor lain dari kemerosotan moral tersebut ialah masih banyak remaja yang melakukan perbuatan menyimpang seperti kurang ajar terhadap orang tua, waktu shalat di lakukan untuk bermain game, sering menongkrong hingga larut malam, dan lambatnya tokoh-tokoh masyarakat dalam menanggapi kenakalan remaja.

Kendala yang dihadapi oleh tokoh masyarakat dalam mengatasi kenakalan remaja di Kelurahan Dusun Kebun adalah lambatnya kesadaran dan partisipasi tokoh masyarakat dalam pembinaan moral untuk mengatasi masalah yang timbul di kalangan remaja, suatu kenakalan yang terjadi di kalangan remaja tidak terlepas dari keteladanan yang di contohkan oleh masyarakat itu sendiri seperti merokok sembarangan, Rendahnya pengetahuan agama akan berdampak buruk pada diri remaja, kurangnya pendidikan karakter keteladanan yang di bangun oleh orang tua di rumah, kurangnya pembentukkan karakter melalui penanaman nilai-nilai yang di berikan oleh guru di sekolah, selanjutnya perlu adanya keteladanan yang dibangun oleh para masyarakat melalui keteladanan para pemimpin atau tokoh masyarakat. Kurangnya pengetahuan agama bagi remaja, dan pengaruh pergaulan remaja yang buruk.

Upaya tokoh masyarakat dalam mengatasi kenakalan remaja di Kelurahan Dusun Kebun seperti menguatkan perilaku keagamaan yang di bentuk oleh ketua pemuda Kelurahan Dusun Kebun yaitu berupa Organisasi Ikatan Remaja Masjid (IRM) Al-Ikhsan, yang di lakukan rutinitas seperti

Pengajian satu kali dalam seminggu yaitu pada malam minggu, kegiatan Hadrah di lakukan rutin satu kali dalam 2 minggu, dan kegiatan yasinan di lakukan rutin satu kali dalam seminggu yaitu pada setiap malam kamis.

PUSTAKA

 

 

Asmani, Jamal Ma’mur.2011.Kiat Mengatasi Kenakalan Remaja di Sekolah.

Jogjakarta: Bukubiru

Ali Abdul Halim Mahmud, Akhlak Mulia, (Jakarta: Gema Insani Press, 2004) Aliah B. Purwakania Hasan, Psikologi Perkembangan Islami: Menyingkap

Rentang Kehidupan Manusia Dari Prakelahiran Hingga Pasca Kematian, Ed 1-1, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006)

Bimo Walgito, Pengantar Psikologi Umum (Yogyakarta: Andi Ofset, 2010)

 

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta, (2004)

Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar BahasaIndonesia Pusat Bahasa (Jakarta: Balai Pustaka, 2005)

Danim, Sudarwan. 2006. Agenda Pembaruan Sistem Pendidikan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Djamaludin Ancok, Psikologi Islami, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003)

 

Efendi, Taufiq. 2013. Peran. Tanggerang Selatan :Lotubooks.

 

Hasan Langgulung, Beberapa Pemikiran Tentang Pendidikan Islam, (Bandung: Al-Ma’arif,2008)

Hasan Langgulung, Asas-asas Pendidikan Islam (Jakarta: Al-Husna,2000)

 

Koentjaraningrat. 2004. Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta: Gramedia

Lexy J Moleong ,2012. Metode Penelitian Kualitatif.Bandung: PT Remaja Rosdakarya

 

Senin, 28 Agustus 2017

PROFIL DIRI

CONTOH CURRICULUM VITAE

Yang bertanda tangan dibawah ini saya :
Nama Lengkap                        : Abdul Hasan Rapa’i
Tempat tgl . Lahir                   : Serang, 30 Desember 1990
Jenis Kelamin                          : Laki – laki
Status                                      : Belum Menikah
Agama                                     : Islam
Kebangsaan                             : Indonesia
Alamat Lengkap                     : Ds. Nyompok, Rt 03Rw  03 Kec. Kopo Serang Banten
Pendidikan :               
-          1998 – 2004                : SD Muhammadiyah 2 Bandar Lampung
-          2004 – 2007                : MTs. Darussalam   Serang
-          2007 – 2010                : MA Darussalam  Serang
-          2012 – 2016                : S1 Ilum Pendidikan Agama Islam  (PAI) STIT Al Ishlah
  Bondowoso Jawa Timur
Pengalaman Kerja :
-          2013 – 2015                : Pengajar Buta Aksara  
-          2014 – 2016                : Team Penyuluhan  Narkoba Tingkat Kecamatan

Demikian Daftar Riwayat Hidup ini saya buat dengan sesungguhnya serta menurut keadaan yang sebenarnya.


Jember, 27 Agustus 2017
                                                                                                   Hormat saya,




           Abdul Hasan Rapa’i


  DEKADENSI MORAL REMAJA DAN PERAN TOKOH MASYARAKAT DALAM MENGUATKAN PERILAKU KEAGAMAAN DI PERUMAHAN GRUJUGAN   ABDUL HASAN RAPAI D...